Konsisten dengan Prinsip
Jawa Timur punya karateka berlevel internasional seperti Johny Koento, Umar Syarif, dan Hasan Basri. Tetapi, tidak dapat dimungkiri, ada tangan-tangan yang tidak terlihat di balik kesuksesan mereka. Siapakah dia?
---
RAMBUTNYA yang masih hitam dan disisir dengan rapi membuat dirinya tampak lebih muda daripada usianya. Genggaman tangannya pun masih keras.
Itu dirasakan setelah wartawan koran ini bertandang di kediamannya, Kompleks Perumahan Marinir, Masangan Kulon Blok O No 60, Sidoarjo.
Sosok tersebut adalah Willem Mantiri. Usia mantan pelatih terbaik nasional 1994 itu pun sudah tidak lagi muda.
Pada 5 Oktober mendatang, dia genap berusia 60 tahun. Namun, dengan usia setua itu, Mantiri masih tetap bersemangat untuk menciptakan karateka-karateka berkualitas dunia.
Semangatnya tersebut juga terlihat dari suasana rumahnya. Ya, di samping kanan rumah Mantiri, ada sebidang tanah kosong berukuran sekitar 4 x 4 meter.
Nah, lahan itu sering kali berfungsi ganda. Selain digunakan untuk parkir, juga sering dimanfaatkan sebagai tempat latihan oleh dua keponakannya, Kenedy Ryan dan Brandon.
Selain itu, di tempat tersebut, ada dua sansak yang berbentuk orang. Menurut Mantiri, dua sansak itu adalah sasaran tendangan dan pukulan dua keponakannya.
"Mereka sudah besar-besar. Jadi, tidak mungkin di antara mereka saling jadi sasaran tendangan dan pukulan,'' papar pemegang sabuk dan IV internasional itu.
Tidak jauh dari dua sansak tadi, berdiri sebuah lemari besar. Kotak kayu berdaun pintu kaca itu dipenuhi berbagai koleksi medali dan piala hasil prestasi dua keponakan dan adiknya, Anneke Mantiri.
''Ini adalah hasil perjuangan adik dan anak-anaknya. Saya bangga dengan ini semua. Mereka termasuk hasil polesan dan pemikiranku,'' cerita Mantiri.
Memang, selama berkarir di dunia karate, dia selalu konsisten dengan prinsipnya, yaitu memberikan contoh kepada orang lain dengan perbuatan. Bukan hanya itu, menurut dia, idealnya, sebelum menuntut orang lain sukses, keluarga dituntut harus lebih sukses.
Ternyata, yang membuat pemikiran serta prinsip hidupnya seperti itu adalah masa lalu. Sebab, meski ayah Mantiri adalah prajurit TNI, ekonomi keluarganya tidak terlalu baik.
Kondisi itu membuat Mantiri terdorong melakukan apa saja. Manitiri muda yang menghabiskan waktu kecil di Manado juga sering mengikuti tinju amatir di pasar-pasar malam. Motivasinya hanya satu, yakni mengejar hadiah sebakul nasi.
Itu menjadi kenangan manis bagi Mantiri selama ini. Dia mengatakan, karena terjun di olahraga keras itulah, jati dirinya terbentuk sejak masih remaja.
''Meskipun menang tinju, hadiahnya tidak bisa dinikmati. Sebab, hadiahnya cuma nasi. Mana ada makanan yang enak kalau mulut udah robek,'' kenang dia.
Itulah yang membuat Mantiri pernah mencoba banyak cabang olahraga, mulai sepak bola, karate, hingga tinju. ''Kebetulan, keluarga ayahku memang doyan tinju. Jadi, mau nggak mau tertular juga,'' kenang Mantiri.
Karena itu, sejumlah cerita yang menjadi sejarah masa lalu tersebut, menurut dia, adalah bagian yang penting dari jalan hidupnya. ''Banyak orang sering mengatakan bahwa pengabdian di olahraga itu adalah sebuah kecelakaan. Sebab, tidak banyak keuntungan yang bisa diraih dari sana. Namun, bagi saya, itu adalah sebuah pengabdian,'' jelas Mantiri. (sidik tualeka/diq)
BIODATA
Nama: Willem Mantiri
Lahir: Manado, 5 Oktober 1950
Level Karate: DAN VI
Prestasi Atlet
Juara Nasional 60 Kg 1985
Juara Nasional 60 Kg 1987
Prestasi Pelatih Nasional
Asian Games Hiroshima 1994
SEA Games Jakarta 1997
Kejuaraan Dunia di Rio de Janeiro, Brazil, 1998
Asian Games Bangkok 1998
Asian Games Busan 2002
Penghargaan
Pelatih nasional terbaik PWI Pusat 1994
Satya Karya Bhakti, Penghargaan KONI, 2003
Adi Manggala Krida dari Presiden RI 2003
Tidak Hanya Pukul dan Tendang
BAGI Willem Mantiri, karate tidak sekadar melatih pukulan dan tendangan. Tapi, dari olahraga bela diri tersebut, banyak manfaat yang didapat, baik kesehatan maupun pergaulan.
Selama menjadi pelatih, dia menyatakan tidak pernah menemukan seorang karateka yang keluar menjadi pembunuh di masyarakat atau tukang pukul di lingkungannya.
"Saya yakin, orang jahat akan menjadi baik kalau mau berlatih karate. Sebab, sejak menekuni karate, pasti motivasinya berubah. Artinya, kebiasaan memukul orang bakal bergeser untuk melindungi," ungkapnya.
Selain itu, mempelajari ilmu bela diri dapat meningkatkan kepercayaan diri seseorang, apalagi karate. Dalam dunia karate, selain fisik, jiwa kepemimpinan seseorang dilatih.
Menurut dia, kalau sudah seperti itu, seorang karateka sangat sulit untuk bisa dipengaruhi lingkungan yang kurang positif. Malah sebaliknya, dia cenderung tampil sebagai seorang pelatih.
"Meskipun termasuk cabang olahraga amatir, karate adalah aset negara. Sebab, bukan hanya fisik, tapi juga mental kita yang diperkuat," tutur Mantiri.
Pemikiran Mantiri itu berdasar realitas. Menurut dia, di Indonesia memang banyak yang melibatkan diri sebagai karateka. Tapi, di antara sekian banyak orang tersebut, tidak semua dijamin menjadi atlet. Karena itu, yang tidak menjadi atlet tersebut akan keluar menjadi calon pemimpin. (dik/diq)
Bangga Bisa Jabat Tangan dengan Pejabat
MELATIH timnas karate Indonesia merupakan kebanggaan terbesar Willem Mantiri. Rasa senangnya pun semakin berlipat jika disalami pejabat. Apalagi, dia mampu mencapai target yang telah dibebankan.
Menurut dia, kebanggaan yang ditemukan sebagai pelatih sangat berbeda dengan pengalamannya dalam dunia militer dulu. Dia mencontohkan, saat mendampingi atlet keluar negeri, upaya pelepasan dan penyambutannya sangat meriah.
Lain halnya dengan militer, berangkat dan pulang harus diusahakan tidak sedikit pun diliput media. Padahal, misi yang diemban sama, yakni memperjuangkan kehormatan bangsa.
Mantiri juga membandingkan, jika ada atlet yang meninggal dunia akibat merebut medali, dia diberitakan sebagai headline, namun tidak bagi tentara. Mati di negeri orang adalah aib yang harus disembunyikan.
''Jadi atlet itu enak, semua bisa didapat. Apalagi jika sudah menembus level nasional, pasti jadi langganan berita,'' ujarnya.
Menurut dia, peran media juga sangat penting dalam pembinaan atlet. Sebab, banyak atau tidaknya masyarakat mengetahui informasi tentang karate itu bergantung kekuatan media.
Dalam setiap latihan, dia selalu menekankan kepada anak didiknya tentang jiwa patriotisme. Sebab, hal itulah yang akan memacu semangat tanding mereka saat di gelanggang.
Atas dasar itu, metode latihan Mantiri sangat berbeda dengan banyak pelatih karate lain. Bagaimana tidak, saat latihan, dia termasuk pelatih yang gampang mengeluarkan tendangan dan pukulan bagi muridnya.
Jika ada murid yang melakukan kesalahan, sudah pasti tendangan dan pukulan dilancarkan Mantiri ke wajah murid tersebut. Untuk melakukan itu, dia juga tidak memandang besar atau kecilnya murid. (dik/diq)
Betah Dua Puluh Tahun Membujang
MATERI bukan hal yang penting bagi Willem Mantiri. Buktinya, dalam melatih, dia tidak banyak menuntut fasilitas dan gaji besar. Bagi dia, kepuasan itu tidak berada pada banyaknya uang yang dihasilkan. Tapi, kepuasan itu ada pada sebanyak apa atlet yang bisa diciptakan.
Bagi Mantiri, anggapan tersebut wajar. Sebab, tidak banyak hal yang harus dipikirkan oleh pria yang hobinya menembak tersebut. Ya, selama ini Mantiri memang hidup membujang. Itulah yang membuat dia berupaya memikirkan cara membiayai kuliah adik atau melengkapi kebutuhan rumah tangga lainnya.
"Sudah dua puluh tahun lebih saya hidup membujang. Jadi, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk karate dan mengurusi adik dan ponakan," ucap Mantiri.
Mantiri enggan bercerita banyak tentang alasan itu. Menurut dia, memikirkan masa lalu hanya menghabiskan waktu. Ambisinya berbuah hasil. Adiknya, Anneke Mantiri, mampu diorbitkan menjadi juara nasional. Demikian juga dua keponakannya, Ryan Kenedy dan Brandon.
"Berprestasi dan menciptakan atlet-atlet baru sudah menjadi kewajiban saya. Apalagi, ini dilakukan untuk keluarga," tukas dia.
Dia mengatakan, niat tulus itu dia berikan untuk keluarga dan orang lain. Sebab, keberhasilan bagi dia adalah seberapa jauh pengetahuan tentang dunia bela diri bisa diresapi oleh banyak orang.
Selain itu, menurut dia, terlibat dalam dunia karate adalah bagian dari pengabdian untuk negara. Sebab, saat ini yang dia miliki hanya ilmu karate. Apalagi, negara sering membantunya saat mengikuti pendidikan penaikan level di mancanegara. "Sebagai warga negara, kita harus seperti tentara, berjuang mengharumkan nama bangsa," papar dia. (dik/diq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar