Anda pernah mendengar istilah “ikken hissatsu” ? Bagi praktisi Shotokan tentu tidak asing dengan istilah ini. Ikken Hissatsu adalah salah satu dari sekian banyak filosofi Shotokan yang berkaitan dengan pertarungan (combat oriented). “Ikken” berarti tunggal, sedang “hissatsu” berarti serangan. Ikken Hissatsu berarti bertujuan membunuh dengan satu serangan. Dalam literatur lain istilah ini ada yang menyebut dengan “ippon ieatsu”. Banyak yang salah kaprah dengan dengan istilah ikken hissatsu ini. Sebagian praktisi karate menganggap bahwa membunuh lawan diperbolehkan. Tentu saja ini salah besar.
Meski terdengar seram, makna hakiki dari ikken hissatsu tidak sesimpel itu. Untuk memahami istilah ini Anda cukup membayangkan sedang dikepung oleh lawan lebih dari satu. Masing-masing dari lawan memegang senjata yang siap memotong leher Anda kapan saja. Masing-masing mempunyai teknik yang Anda sendiri tidak mengetahui. Singkatnya, Anda dalam posisi yang terjepit. Bagaimana Anda akan menghadapi situasi yang serba sulit ini ?. Dalam kondisi seperti inilah konsep ikken hissatsu benar-benar diperlukan.
Filosofi ini mengisyaratkan penggunaan teknik yang efektif (waza- ari) dalam mengatasi lawan terutama dalam jumlah besar. Dengan demikian teknik yang dilancarkan hanya membutuhkan usaha atau gerakan minimal namun menghasilkan kerusakan besar pada lawan. Sehingga tidak ada tenaga sia-sia yang dikeluarkan. Hasilnya akan membuat si penyerang berpikir dua kali untuk menyerang lagi. Teknik kihon umunya sangat efektif mengatasi lawan yang banyak. Prinsip ikken hissatsu sangat sederhana : satu serangan dan selesai. Mengapa hanya satu serangan ? karena dengan satu teknik yang Anda lancarkan, ada cukup waktu untuk mengatasi penyerang yang lain. Lawan yang lain tentu tidak akan menunggu, bukan ?
Konsep ikken hissatsu sebenarnya telah ada sejak karate belum masuk ke Jepang. Bahkan diduga sebelum berkembangnya karate di Okinawa konsep ini telah ada. Tentu saja dengan penyebutan yang berbeda. Terbukti ketika karate masih dirahasiakan di Okinawa, duel antar ahli bela diri sudah biasa terjadi. Di akhir duel tentu ada yang hidup dan ada yang mati. Hal ini sudah lazim terjadi. Ketika samurai sedang berjaya di Jepang, filosofi ikken hissatsu benar-benar dilakukan. Sejak pertarungan hidup mati demi kehormatan seakan sudah menjadi hal biasa. Uniknya, mereka tidak dendam dengan lawannya. Bagi golongan samurai pertarungan pedang lebih dari sekedar kehormatan namun keyakinan. Setelah Restorasi Meiji budaya ini telah ditinggalkan.
Diduga Shotokan mendapat pengaruh konsep ikken hissatsu ini dari guru Funakoshi yaitu Anko Azato dan Itosu. Sudah menjadi legenda bahwa keduanya tidak pernah terkalahkan dalam pertarungan apapun. Entah melawan orang dalam jumlah besar atau bahkan lembu jantan liar seperti yang dihadapi Itosu. Umumnya mereka tidak butuh serangan kedua untuk menyelesaikan duel. Namun yang lebih menakjubkan, mereka tidak sampai membunuh lawannya. Ini mengisyaratkan bahwa karate bukan ilmu pembunuh yang bisa digunakan sesuka hati.
Shotokan saat ini masih mempertahankan konsep ikken hissatsu ini. Di beberapa organisasi besar Shotokan (seperti KWF) mereka masih mempertahankan latihan kata dasar seperti Heian dan Tekki. Pemandangan ini sering ditemui pada mereka yang telah sabuk hitam. Tentu saja ini kontras dengan kenyataan bahwa seharusnya untuk tingkat sabuk hitam mereka telah berlatih kata tingkat lanjut. Umumnya mereka dituntut berlatih kihon berulang-ulang disamping kata dasar. Bagi mereka dasar diperlukan untuk meraih hasil yang lebih baik. Hasilnya, dalam turnamen meski teknik yang dilancarkan terkesan “miskin” (sebatas oi tsuki atau chudan geri) mereka tidak terkalahkan.
Kesimpulannya, ikken hissatsu mensyaratkan kita mengalahkan lawan dengan teknik yang efektif. Untuk melancarkannya butuh tenaga yang umumnya besar. Tenaga yang besar adalah hasil dari berlatih. Ketika lawan telah roboh, Anda tidak dibenarkan mengakhiri hidupnya. Hargai hidup lawan seperti Anda menghargai nyawa Anda sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar